Skip to main content

Candi di Jawa Barat



C
andi di Jawa Barat
Sejarah sebuah candi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah sebuah kerajaan, karena pembangunan candi pada masa lalu adalah atas perintah seorang raja atau kepala pemerintahan yang menguasai wilayah tempat candi tersebut berada. Berabad-abad lamanya, sejak masa penjajahan Belanda, hampir tidak ada bangunan peninggalan kuno yang ditemukan di Jawa Barat. Peninggalan masa lalu yang dijadikan pijakan dalam upaya menjelaskan secara runtut sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa Barat, khususnya kerajaan Hindu dan Buddha, selama ini berupa prasasti yang ditemukan di beberapa tempat serta kitab-kitab kuno, seperti Pustaka Jawadwipa, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, dan Chu-fan-chi karangan Chau Ju-kua (1178-1225) yang merupakan catatan (buku) Cina yang memuat uraian tentang Sunda.

Salah satu dari prasati tersebut adalah Prasasti Juru Pangambat atau Prasasti Pasir Muara (458 Saka atau 536 M) ditemukan di Pasir Muara, Bogor menerangkan tentang pengembalian pemerintahan negara kepada Raja Sunda. Prasasti lainnya adalah Prasasti Telapak Gajah peninggalan Raja Purnawarman yang juga ditemukan di Pasir Muara, yang memuat gambar telapak gajah dan keterangan yang menjelaskan sepasang jejak telapak kaki tersebut adalah milik gajah kepunyaan penguasa Tarumanagara.

Prasasti Ciaruteun ditemukan di S. Ciaruteun, sekitar 100 m dari muara S. Cirateun ke S. Cisadane dan berjarak beberapa ratus meter dari tempat ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Prasasti Ciaruteun memuat gambar jejak sepasang kaki dan tulisan berbahasa Sansekerta dalam huruf Palawa yang menerangkan bahwa jejak telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang menguasai Tarumanagara. Menurut informasi yang dimuat dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara pada tahun 395-434 M. Prasasti Kebon Kopi (942 M) ditemukan di bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig di Ciampea, juga tidak jauh dari ditemukannya Prasasti Juru Pangambat. Sebuah prasasti juga ditemukan di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Prasasti ini juga memuat gambar sepasang telapak kaki dan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman yang memerintah Taruma. Masih banyak prasasti lain yang dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa barat, seperti Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M), Prasasti Cidanghiang (Lebak) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).

Berdasarkan keterangan dalam prasasti dan kitab-kitab yang ada, dapat diketahui bahwa Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M. Sang raja wafat tahun 382 dan digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382 - 395 M). Raja Tarumanegara berikutnya adalah Purnawarman (395 - 434 M), yang membangun ibukota kerajaan baru, Sundapura, pada tahun 397 M. Kerajaan Tarumanagara hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Raja Tarumanagara terakhir, Linggawarman, digantikan oleh menantunya pada tahun 669 M.

Prasasti Juru Pangambat yang menerangkan pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda dibuat tahun 536 M, yaitu pada masa pemerintahan Suryawarman (535 - 561 M), Raja Tarumanagara ke-7. Dalam Pustaka Jawadwipa disebutkan bahwa dalam masa pemerintahan Candrawarman (515 - 535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara, seperti halnya penyerahan kembali kekuasaan oleh Suryawarman. Pengembalian kekuasaan tersebut merupakan petunjuk bahwa Sundapura, yang semula merupakan ibu kota Tarumanagara, telah berubah status menjadi sebuah kerajaan. Dengan demikian, pusat pemerintahan Tarumanagara mengalami perpindahan ke tempat lain.

Pada tahun 670 M, Tarumanagara terpecah menjadi dua kerajaan yang dibatasi oleh S. Citarum, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Sunda merupakan keturunan Maharaja Tarusbawa, menantu Raja Linggawarman. Raja Tarusbawa, yang memerintah Kerajaan Sunda sampai dengan tahun 723 M, mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat Hulu Cipakancilan.

Pada tahun 732 M. Raja Tarusbawa digantikan Raja Sunda II yang bergelar Prabu Harisdarma. Raja Sunda II yang juga menantu Raja Tarusbawa kemudian menaklukkan Kerajaan Galuh dan lebih dikenal dengan nama Raja Sanjaya. Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Mataram Hindu, di Jawa Tengah, pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya, Rakai Panaraban. Putra Raja Sanjaya yang lain, Rakai Panangkaran, mewarisi kekuasaan di Kerajaan Mataram Hindu.

Baru sekitar tigapuluh tahun terakhir ini ditemukan beberapa situs sejarah berupa reruntuhan bangunan kuno di beberapa tempat di Jawa Barat. Temuan-temuan tersebut di antaranya adalah: Candi Bojongmenje di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung (ditemukan pada 18 Agustus 2002); Candi Candi Ronggeng atau Candi Pamarican di Kecamatan Pamarican, Kabupaten Ciamis (ditemukan tahun 1977); Kompleks candi Batujaya di Kecamatan Batujaya dan di Cibuaya Kabupaten Karawang; serta Candi Cangkuang di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles Kabupaten Garut. Walaupun sejauh ini belum dapat dipastikan kapan dan oleh siapa candi-candi tersebut dibangun, namun penemuan reruntuhan bangunan kuno tersebut merupakan fakta baru yang dapat digunakan untuk mengungkap sejarah kerajaan di wilayah Jawa Barat.

Comments

Popular posts from this blog

Candi di Jawa Timur

C andi di  J awa  T imur Pada awal abad ke-10 M, tepatnya tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa berpindah ke Jawa Timur. Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan sebuah kerajaan di Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di Watugaluh, yang diperkirakan lokasinya berada di daerah Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya, sehingga raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana. Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya, Mahendratta, menikah dengan Raja Bali, Udayana, dan mempunyai putra Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur, walaupun terdapat juga candi-candi yang diperkirakan dibangun pada masa yang lebih awal, seperti Candi Badhut di Malang. Dalam Prasasti Dinoyo (760 M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang berlokasi di Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan pembangunan candi Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan

Candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta

C andi di Jawa Tengah dan Yogyakarta Pada abad ke-7 sampai dengan awal abad ke-8, di Jawa Tengah terdapat sebuah kerajaan Hindu bernama Kalingga. Pada akhir paruh pertama abad ke-8, diperkirakan th. 732 M, Raja Sanjaya mengubah nama Kalingga menjadi Mataram. Selanjutnya Mataram diperintah oleh keturunan Sanjaya (Wangsa Sanjaya). Selama masa pemerintahan Raja Sanjaya, diperkirakan telah dibangun candi-candi Syiwa di pegunungan Dieng. Pada akhir masa pemerintahan Raja Sanjaya, datanglah Raja Syailendra yang berasal dari Kerajaan Sriwijaya (di Palembang) yang berhasil menguasai wilayah selatan di Jawa Tengah. Kekuasaan Mataram Hindu terdesak ke wilayah utara Jawa Tengah. Pemerintahan Raja Syailendra yang beragama Buddha ini dilanjutkan oleh keturunannya, Wangsa Syailendra. Dengan demikian, selama kurang lebih satu abad, yaitu tahun 750-850 M, Jawa Tengah dikuasai oleh dua pemerintahan, yaitu pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu dan Wangsa Syailendra yang menganut agama Bud